wartapedia.co.id, Kutai Kartanegara – Anggota DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) Fatlon Nisa menyampaikan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV bersama sejumlah alumni Pondok Pesantren (Ponpes) Tenggarong Seberang di Ruang Banmus DPRD Kukar pada Selasa (26/8/2025).
RDP tersebut membahas langkah-langkah tindak lanjut terkait dugaan kekerasan seksual yang melibatkan anak pimpinan Ponpes.
Politikus PDI Perjuangan ini menjelaskan bahwa DPRD Kukar melalui Komisi IV telah membentuk tim Adhoc yang melibatkan berbagai lembaga terkait, mulai dari Kementerian Agama, kejaksaan, kepolisian, hingga lembaga keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI.
Kata dia, tim tersebut nantinya akan fokus melakukan screening terhadap seluruh santri berjumlah 152 orang guna memastikan ada atau tidaknya korban lain yang belum terungkap.
“Harapan kita, ketika tim turun ke lapangan tidak ada hambatan. Kami tekankan bahwa meskipun ada upaya pelarangan, kami tetap akan masuk, karena persoalan ini tidak bisa dianggap remeh,” tegasnya.
Terkait dengan pelaku yang disebut merupakan anak pimpinan Ponpes, Fatlon membenarkan hal tersebut dan menegaskan bahwa pimpinan pondok sendiri telah mengakui. Namun dia menekankan, selain proses hukum yang sudah berjalan, penting bagi DPRD dan lembaga terkait untuk memastikan kondisi psikologis santri.
“Anak-anak yang menjadi korban tentu mengalami trauma mendalam. Bahkan santri lain yang melihat atau mengetahui kejadian itu juga bisa terganggu secara psikis. Karena itu kami tekankan perlunya pendampingan psikolog dan psikiater bagi mereka,” jelasnya.
Selain itu, Fatlon juga menyoroti indikasi lemahnya pengawasan internal di Ponpes. Menurutnya, sejak awal kasus mencuat tahun 2021, pondok pesantren seharusnya melakukan evaluasi serius agar kejadian serupa tidak terulang. Ia menilai, langkah yang dilakukan pihak pondok baru sebatas pergantian pengawas dari kalangan santri ke ustadz, tetapi mekanisme pengawasan yang lebih komprehensif belum jelas.
“Pondok mengatakan sudah ada perbaikan, tapi kita ingin melihat langsung bagaimana sistem pengawasannya. Tidak cukup hanya mengganti pengawas, tapi harus ada pola pengawasan yang menjamin keamanan anak-anak. Itu yang akan kita dalami saat turun ke lapangan,” ungkapnya.
Selain itu, tim Adhoc juga akan mendalami apakah ada tenaga pengajar yang mengetahui atau mendengar kejadian, mengingat posisi kamar para ustadz berdekatan dengan santri. Dia menegaskan, jika terbukti ada pihak yang mengetahui namun memilih diam, hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran.
Fatlon menekankan, kasus ini bukan hanya persoalan individu, melainkan menyangkut martabat lembaga pendidikan agama dan kepercayaan orang tua yang menitipkan anak-anaknya di pondok pesantren. Oleh sebab itu, DPRD Kukar berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini secara serius bersama aparat penegak hukum dan lembaga terkait.
“Fokus kita bukan hanya pada proses hukum, tetapi juga pada pemulihan korban dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan. Ini tanggung jawab bersama, bukan hanya pihak ponpes, tapi seluruh lembaga dan masyarakat,” pungkasnya. (W/ADV/JS)