AdvertorialDPRD Kukar

Sri Muryani: Kasus Kekerasan di Ponpes Tenggarong Seberang Adalah Pengkhianatan Amanah Orang Tua

wartapedia.co.id, Kutai Kartanegara – Anggota Komisi IV DPRD Kutai Kartanegara (Kukar), Sri Muryani, menyampaikan sikap tegas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV bersama sejumlah alumni Pondok Pesantren Tenggarong Seberang, Selasa (26/8/2025).

RDP ini digelar menyikapi kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak yang terjadi di pondok pesantren tersebut, yang kembali mencuat setelah sebelumnya sempat terjadi pada tahun 2021.

Dalam forum itu, Politikus Gerindra tersebut menegaskan bahwa dirinya berbicara bukan hanya sebagai anggota dewan, tetapi juga sebagai seorang ibu sekaligus representasi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Ia menilai, kasus kekerasan yang menimpa santri di pondok pesantren merupakan peristiwa yang sangat melukai hati masyarakat, terutama para orang tua yang mempercayakan pendidikan anaknya di lembaga keagamaan.

“Sebagai seorang ibu dan perempuan, saya sangat marah. Apalagi ini bukan kasus pertama. Tahun 2021 pernah terjadi dengan 1 korban, tetapi sayangnya saat itu tidak ada bukti kuat sehingga kasus seolah tertutup. Kelalaian tersebut kini kembali terulang. Ini bukan hal yang bisa dianggap biasa,” tegasnya.

Ia menyebut, kelalaian pihak pondok pesantren telah mencederai amanah besar dari para orang tua. Pondok pesantren, lanjutnya, tidak hanya gagal melindungi peserta didiknya, tetapi juga justru terkesan menyembunyikan kasus demi menjaga nama baik lembaga.

“Bagi saya, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah orang tua. Luka yang diderita para korban tidak main-main, karena menyangkut masa depan mereka. Kalau saja satu korban tidak berani melapor, mungkin akan lebih banyak lagi anak-anak yang menjadi korban,” tambahnya.

Lebih jauh, Sri menyoroti dugaan adanya keterkaitan kekeluargaan antara pelaku dengan pihak tertentu di pondok pesantren. Ia menilai hal tersebut menjadi salah satu alasan kasus pada tahun 2021 tidak terungkap secara tuntas.

“Kalau memang benar ada keterkaitan kekeluargaan, itu berarti kasus dulu memang sengaja disembunyikan. Itu artinya pondok lebih mementingkan melindungi pelaku ketimbang membersihkan lembaga dari kejahatan. Saya menyebutnya bukan sekadar pelaku, tetapi predator,” tegasnya.

Dalam forum RDP, dia juga meminta agar pihak pondok pesantren menjelaskan langkah-langkah konkret yang akan dilakukan untuk menanggapi kasus ini, baik untuk pemulihan psikologis korban maupun untuk memastikan agar peristiwa serupa tidak kembali terulang.

“Pertanyaan saya jelas, apa langkah-langkah pondok pesantren ke depan? Apa bentuk tanggung jawab dan penyelamatan untuk korban? Karena penyembuhan luka batin ini tidak sebentar, butuh waktu lama. Pondok harus bertanggung jawab penuh, bukan malah mementingkan keberlangsungan lembaga dengan alasan jangan ditutup,” ujarnya.

Politisi perempuan ini menegaskan, kasus kekerasan di Ponpes Tenggarong Seberang harus dipandang sebagai persoalan serius yang menyangkut masa depan generasi bangsa. Ia mengingatkan, jika negara gagal menegakkan keadilan dalam kasus ini, maka sejarah akan mencatat bahwa telah terjadi pembiaran.

“Ini bukan hanya tanggung jawab pondok pesantren, tetapi tanggung jawab kita bersama. Kalau hari ini kita gagal menegakkan keadilan, maka sejarah akan mencatat, negara pun akan mencatat, bahwa ini adalah kasus pembiaran,” tutupnya. (W/ADV/JS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *