wartapedia.co.id, SAMARINDA – Di tengah kemegahan proyek strategis Bendungan Marangkayu yang hampir rampung, tersimpan kisah pilu warga lokal yang sudah hampir dua dekade menanti kejelasan atas hak tanah mereka. Janji ganti rugi yang tak kunjung ditepati kini berubah menjadi jeritan sunyi yang menggema di tengah beton dan alat berat.
“Beberapa dari pemilik lahan itu sudah meninggal dunia sebelum sempat melihat hak mereka ditegakkan,” kata Baharuddin Demmu, anggota DPRD Kaltim dari Fraksi PAN-NasDem, yang baru-baru ini angkat suara dalam rapat paripurna dewan, Senin (2/6).
Ia mendorong agar DPRD segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menyelesaikan polemik yang tak kunjung usai ini.
Pasalnya, proyek bendungan yang dibangun mulai sejak hampir 20 tahun lalu itu memang hampir rampung secara fisik. Namun, di balik tembok kokohnya, tersimpan ketidakpastian yang telah menggerogoti rasa keadilan warga. Puluhan keluarga di Desa Sebuntal dan sekitarnya belum menerima sepeser pun kompensasi atas tanah yang kini berada di area proyek.
“Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini tentang kehidupan orang-orang yang tanahnya diambil, tapi tidak pernah dibayar,” ujar Baharuddin.
Ia pun menceritakan bagaimana rumah-rumah warga kini kerap terdampak banjir akibat perubahan tata air yang ditimbulkan bendungan.
Kemarahan warga pun memuncak. Dalam beberapa bulan terakhir, aksi protes kian intens—dari demonstrasi di kantor camat hingga penutupan akses menuju lokasi proyek. Terakhir, warga kembali menutup lokasi dua hari lalu karena tidak ada tindak lanjut dari pihak terkait.
Menurut Baharuddin, surat permohonan audiensi sudah diajukan langsung oleh Camat Marangkayu dan Kepala Desa Sebuntal pada 23 Mei lalu. Namun, belum ada kepastian kapan forum itu akan digelar.
“Pemerintah dan kontraktor harus hadir, jangan biarkan warga berjuang sendiri dalam ketidakjelasan. Kita tidak boleh membiarkan pembangunan berjalan sambil menginjak hak-hak dasar masyarakat,” tegasnya.
Kasus Marangkayu menjadi cermin buram dari pembangunan infrastruktur yang tidak inklusif. Pembangunan tidak hanya soal beton dan angka, tapi tentang manusia dan hak-haknya. Warga menanti bukan hanya keadilan, tetapi juga pengakuan bahwa mereka bukan sekadar ‘korban pembangunan’. (W/ADV/SR).